kehancuran dunia beserta seluruh alam semesta atau yang lebih dikenal Kiamat sesungguhnya adalah fenomena yang telah diketahui akan terjadinya baik oleh orang terdahulu maupun sekarang . berita yang amat mengerikan ini begitu mengguncang seluruh manusia hingga manusia itu berusaha untuk mencari tahu kapan waktunya , hingga sains dan teknologi pun di jadikan alat agar tahu kapan terjadinya dan bagaimana caranya agar selamat dari kejadian tersebut .
bayangan manusia akan kiamat hanyalah sebatas kehancuran alam semesta saja , padahal kiamat adalah fase yang harus terjadi agar Allah membalas segala perbuatan manusia .alam semesta , bintang , bulan , matahari , bumi harus Allah hancurkan hanya sekedar untuk membalas perbuatan manusia . begitu besarnya urusan atas manusia hingga harus terjadi kiamat .
untuk lebih jauh dalam memahami kiamat marilah kita simak kajian surat An Naba (78) yang diulas dengan sederhana agar kita mengerti apa sesungguhnya kiamat itu
Islam bukanlah ritual sholat , puasa , zakat dan naik haji semata . melainkan islam adalah ideologi hidup bagi manusia dimuka bumi ini . islam adalah tatanan hidup yang dinamis , optimis dan jalan hidup untuk membebaskan manusia dari perbudakan sesama manusia kembali kepada ketaatan semata hanya kepada pemilik alam semesta ini ... Allah SWT
Minggu, 10 Maret 2013
Rabu, 27 Februari 2013
Meniti Jalan Kemenangan
Shalat adalah perintah utama di dalam Islam. Menegakkannya
berarti menegakkan dien ini … meninggalkannya berarti merobohkan dien
ini. Shalat adalah tiang penegak segala yang
ma'ruf dan pencegah
segala yang keji dan munkar. Shalat adalah sumber kekuatan, pengokoh
jiwa, serta senjata yang paling utama setiap mukmin … laksana senjata
terpenting yang tidak dapat ditinggalkan dalam kondisi paling genting
sekalipun, seperti perang karena ia adalah wasilah (perantara) dan
sebab datangnya pertolongan Allah yang berarti pula sebab datangnya
kemenangan. Karena tak akan pernah ada kemenangan jika tanpa pertolongan
dari Allah. Sementara pertolongan itu hanya diberikan Allah kepada
orang-orang yang benar-benar memantapkan shalatnya sehingga mampu
bersabar, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 45 “Mintalah
pertolongan itu dengan sabar dan shalat”.
Allah menyuruh
kita agar selalu butuh pertolonganNya dalam setiap waktu dan keadaan
dengan sabar dan shalat karena seruan itu! ... seruan kepada ayat-ayat
Allah... sungguh sesuatu yang sangat berat. Allah Maha Tahu keadaan
hambaNya yang lemah dan tidak akan pernah sanggup apabila mengandalkan
kekuatannya sendiri untuk memikul beban berat tersebut. Maka hanya
dengan pertolonganNya, hamba yang lemah itu sanggup menjalankan setiap
ketentuanNya. Sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam lanjutan surat
al-Baqarah ayat 45 “Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.
Sabar adalah
kemampuan untuk tetap terus bergerak melaksanakan ketentuan-ketentuan
Allah dengan mantap dan kokoh. Kemampuan itu hanya dapat diperoleh dan
ditumbuhkan melalui shalat. Tidak akan dapat jiwa sabar itu tumbuh
kecuali jika shalat dilaksanakan dengan khusyu’, dan seseorang tidak
akan mampu melaksanakan shalat dengan khusyu’ kecuali dia mengerti
dengan benar tentang apa itu shalat !
Ketika sabar itu
benar ada dan terbukti, maka berhaklah dia atas pertolongan Allah. Dan
apabila pertolongan Allah telah tiba maka itulah kemenangan sebagaimana
hal itu telah ditetapkan Allah dalam surat An-Nasr ayat pertama
“apabila datang pertolongan Allah dan (pasti) menang“.
Demikianlah
kemenangan itu hanya akan datang ketika Allah berkehendak menurunkan
pertolonganNya. Dan pertolongan serta kemenangan itu hanya akan datang
menghampiri setiap diri yang khusyu’, yang memperhatikan shalat dengan
sebaik-baiknya, sebagaimana Allah telah menjamin kemenangan itu dalam
surat al-Mu’minun 1-2 “sungguh telah menang orang-orang yang beriman,
yaitu mereka yang khusyu’ di dalam shalatnya”.
Begitu
besar kedudukan dan dampak shalat, oleh karenanya perintah shalat di
dalam al-Quran selalu diiringi dengan kata “qum” (atau kata lain yang
terambil dari akar kata yang sama) yang bermakna “tegak, bangkit,
kokoh”, sebagaimana perintah shalat untuk pertama kali ditetapkan
dengan kata qum dalam surat al muzammil ayat 2 “qumillaila illa
qoliila” atau dalam surat al mudatstsir ayat 2 “qum fa andzir”.
“Qum”
memiliki makna perintah “tegakkanlah!”, sebuah makna yang lebih
mendasar dari sekedar “melaksanakan”. Kata “qum” menggambarkan jiwa
yang bangun, bangkit, hidup, dan tergerak dengan dasar motivasi demi
menjalankan sebuah perintah. Kekhususan perintah dalam kalimat “qum”
mengisyaratkan bahwa shalat bukanlah sekedar perintah “remeh” yang
hanya menjadi rutinitas ibadah harian seorang muslim, akan tetapi
shalat adalah bukti pertama kepatuhan setiap mukmin yang akan menjadi
ciri, jati diri sekaligus identitas IMAN dalam dirinya.
Maka
shalat sebagai “identitas iman” … shalat sebagai sesuatu yang harus
“ditegakkan” … dan shalat sebagai jalan menggapai pertolongan dan
kemenangan, tidak sepatutnya hanya dianggap sebatas “ibadah harian”
atau “kewajiban” seseorang yang menyatakan dirinya Islam. Akan tetapi
haruslah ia dipandang sebagai sesuatu yang sangat besar dan teramat
penting dalam hidup seorang muslim, sehingga ia harus dihadapi dengan
kesungguhan perhatian, ketelitian, kehati-hatian serta keseriusan.
Bahkan bukan hanya sekedar saat pelaksanaannya saja, akan tetapi
dibangun setahap demi setahap sejak adzandi kumandangkan hingga shalat
selesai di kerjakan. Begitupun hal-hal yang berkaitan dengan shalat
seperti bersih tempat dan pakaian hingga kaifiyat shalat, juga mesti di
jaga sebagaimana Allah memerintahkan dan Rasulullahg mencontohkan.
Dalam
upaya mewujudkan shalat yang tegak , Allah telah mensyariatkan
"langkah awal" sekaligus tahap penting yang harus di tempuh seorang
mukmin sebelum ia mengerjakan shalatnya...yang tanpa melaksanakannya
mustahil kita dapat mengerjakan shalat. satu tahap yang di sebut Allah
sebagai upaya pembersihan diri sehingga seorang mukmin menjadi diri yang
bersih..bersih fisiknya dan suci jiwanya. Kebersihan (kesucian) itulah
syarat mutlak seorang mukmin menemui Allah di dalam shalat. Dan syarat
pembersihan diri yang kita kenal dengan istilah wudhu itu di tetapkan
Allah dalam surat al Maidah ayat 6:
'Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bangkit menuju shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan
jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Ayat ini
menyeru secara khusus kepada orang-orang beriman, yaitu orang-orang
yang hatinya sangat sensitif apabila nama Allah disebut ... hati yang
senantiasa terikat kepada Allah yang mengakibatkan selalu gemetaran dan
tergerak tatkala mendengar seruan-seruanNya.
Ketika
dirinya mendengar seseorang yang mengumandangkan “Allahu
akbar.....hayya’allas shalaah..!” menyeru dirinya, ingatan seorang
mukmin langsung kembali pada Allah sebagai Rabbnya dan Illahnya.
Hatinya yang peka langsung terkait (teringat) bahwa Rabb yang berkuasa
penuh atas dirinya tengah memanggilnya untuk shalat. Maka ia merasa tak
ada lagi hal yang lebih penting untuk dilakukannya selain bersegera
bangkit memenuhi panggilan tersebut. Itulah ciri hati seorang mukmin…ia
tidak akan diam saja ketika kebesaran dan kekuasaan Rabbnya telah
disebut-sebut, maka ia pun langsung bangkit (qum).
Kata
“qum” bukan hanya bermakna bangun/bangkit secara fisik. Apakah bangun
dari tidur atau bergerak dari diam, akan tetapi hati yang
tergerak/termotivasi karena kesadaran menerima sebuah perintah dan
bersengaja menjalankannya. Inilah ciri kemurnian iman, dimana hanya
Allah saja yang berkuasa di dalam hati itu… hanya Allah saja yang mampu
menggerakkan, memerintahkan, dan membuatnya bangkit. Dengan demikian
bangkitnya seorang mukmin dari diamnya… baik dari tidurnya, dari
istirahatnya, dari kesibukan-kesibukannya maupun dari aktivitas
duniawinya yang lain adalah hanya demi menegakkan ketentuan Allah. Maka
bangkitnya seorang mukmin setelah mendengar seruan adzan adalah demi
mengagungkan Allah sebagaimana seruan adzan yang ditujukan kepada
dirinya. Itulah bukti pengakuan atas keagungan Allah sekaligus
ketundukan dirinya di bawah keagungan tersebut… semuanya tertuang di
dalam shalat. Demikianlah ayat di atas berbicara tentang motivasi
seorang mukmin tatkala bangkit untuk shalat.
atkala
nampak oleh kita seseorang yang termotivasi kuat untuk bersegera bangkit
dari segala kesibukan dan keasyikannya demi memenuhi seruan adzan
untuk shalat, pastilah dalam benak kita yang “masih sehat” terbersit
sebuah tanya penuh rasa heran “bagaimana bisa ia melakukan semua itu?
betapa hebat dan pentingnya kedudukan shalat itu bagi seorang mukmin
hingga ia dapat mengalahkan dirinya dengan segala aktivitasnya”. Dan
hanyalah orang-orang beriman yang mampu menjawab pertanyaan itu
sebagaimana Al-Quran menjelaskan, yaitu karena shalat adalah jalan
utama menuju takwa…jalan utama memperoleh pertolongan…jalan utama
menggapai kemenangan.
Inilah kesadaran yang mesti dibawa
ketika seseorang melangkah menuju shalatnya, yaitu keinginan untuk
mendapatkan (mengambil) kekuatan yang mengokohkan, yang mampu
membuatnya berdiri tegak sebagai seorang mukmin yang siap mengemban
tugas-tugas dalam dien sebagaimana Allah memerintahkannya dalam surat
al-A’raf ayat 29 “dan tegakkanlah wajahmu (dirimu) di setiap tempat
sujud”. Maka jiwa seorang mukmin harus bangkit dan bergerak dengan
penuh kemantapan diri menuju shalat-shalatnya. Dan hendaklah dengan
shalat-shalat yang dikerjakannya itu jiwa seorang mukmin menjadi
bangkit dan kokoh pula. Karena di tiap-tiap tempat sujud (di tiap-tiap
shalat) itulah seorang mukmin mengambil kekuatan untuk mengokohkan
jiwanya.
Disinilah pentingnya membangun pengertian dan
pemahaman tentang shalat khusyu’ itu baik kedudukan maupun dampak yang
ditimbulkannya, karena tanpa kepahaman yang mantap tentang
kedudukan shalat, tidaklah akan seseorang bangkit dan bersegera
menegakkan shalat.
Namun sebelum seorang mukmin menerima
“kekuatan” dari Allah (melalui shalat khusyu’), terlebih dahulu Allah
memerintahkan dirinya untuk menunjukkan kepatuhannya pada Allah melalui
suatu upaya “patuh” yang pertama-tama harus ia lakukan yaitu “patuh”
menuju/mencari tempat yang terdapat air untuk mengerjakan wudhu dengan
patuh pula sebagaimana diperintahkan Allah dalam penggalan ayat
selanjutnya ...
“…maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu…”
“…maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan
jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu…”
Perintah berwudhu yang utama
disebutkan dalam al-Quran adalah membasuh muka dan tangan sampai dengan
siku dan menyapu kepala dan kaki sampai dengan mata kaki. Membasuh dan
menyapu yang dimaksud adalah dengan basuhan air, begitu pula dengan
perintah mandi junub. Namun pengertian air disini tidaklah sama dengan
pengertian air dalam ilmu kesehatan. Air yang dimaksud bukan hanya untuk
membersihkan (secara fisik) saja akan tetapi juga bersih (suci) hingga
ke dalam jiwa. Hal itu tampak pada perintah bertayammum sebagai
pengganti wudhu.
Perintah tayamum adalah pengganti dari
wudhu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan seperti kondisi sakit
yang tidak boleh terkena air atau ketika kita tidak menemukan air. Jika
dalam berwudhu kita diperintahkan menggunakan air, maka ketika kita
bertayamum kita diperintahkan menggunakan tanah yang bersih (bukan
debu). Jika kita pikirkan, dapatkah tanah membuat kita menjadi bersih
/suci ?
Atau dalam ketentuan lain, yaitu jika kita “buang
angin” setelah berwudhu, maka kita harus berwudhu kembali dengan
membasuh seluruh anggota wudhu dan bukan membersihkan tempat keluar
angin tersebut. Tampak jelas bahwa tujuan mendasar dari perintah wudhu
bukan hanya untuk membersihkan diri secara fisik, akan tetapi air untuk
wudhu maupun tanah untuk tayamum hanyalah syarat kepatuhan/ketundukan
seorang mukmin yang disyaratkan oleh Allah.
Maka jika
al-Quran mengatakan “cuci tanganmu sampai siku!”, maka benar-benar kita
cuci kedua tangan kita sampai dengan siku. Itulah wujud kepatuhan!
Begitupun ketika al-Quran memerintahkan “sapulah kepalamu dan dalam
sebuah hadist “celakalah tumit-tumit (yang tertinggal sewaktu
berwudhu)”. Itulah peringatan keras Rasulullah kepada para sahabatnya
agar mereka benar-benar memperhatikan wudhunya. Hal demikian beliau
lakukan karena kefahaman beliau yang mantap tentang makna penting dari
wudhu sebagaimana Allah menjelaskannya dalam penggal ayat selanjutnya …
“…
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Melalui
perintah berwudhu (dengan cara mengusap anggota wudhu dengan air)
Allah seolah mulai mengarahkan langkah-langkah kita. Kemanakah arah
langkah yang mesti kita tuju setelah mendengar adzan, yaitu ke suatu
tempat yang terdapat air yang dapat mensucikan diri kita. Disanalah
anggota wudhu mulai dikendalikan, diarahkan, dan disucikan hingga layak
untuk menghadap Allah dalam shalat.
Tangan yang
sebelumnya digunakan untuk kesibukan-kesibukan dunia yang melenakan
mulai disucikan agar mantap di dalam bertakbir. Kepala yang sebelumnya
dipenuhi oleh pikiran-pikiran dunia yang melalaikan mulai disucikan
agar kembali teringat pada Rabb, begitupun kaki yang sebelumnya
digunakan untuk berjalan tak tentu arah mulai disucikan dan
dikembalikan menuju arah-arah yang ditunjukkan Allah. Artinya, mulai
saat itu semua organ tubuh kita diubah fungsinya hanya demi memenuhi
seruan Allah.
Begitulah cara Allah mempermudah kita pada
kesucian, sebagaimana Rasulullah menjelaskan bahwa dosa-dosa dari
anggota wudhu itu berguguran laksana air yang berjatuhan darinya.
Tatkala kita membasuh muka, maka hakekatnya kita bukan hanya sedang
membersihkan muka akan tetapi Allah juga membersihkan dosa-dosa dari
muka kita. Begitu pula saat kita membasuh tangan, kepala maupun kaki
kita, sesungguhnya Allah juga sedang “bertindak” mensucikannya dengan
mengampuni dosa-dosa yang melekat padanya. Demikianlah Allah
berkehendak untuk mensucikan kita dari dosa-dosa.
Jika
Allah telah berkehendak untuk mensucikan kita, maka Dia pula yang
berkehendak untuk menunjukkan caranya. Dan wudhulah sarana yang dipilih
Allah untuk mensucikan kita. Demikianlah Maha Pemurah-nya Allah. Hanya
dengan berwudhu telah ada jaminan dosa-dosa diampuni. Namun ironisnya
kita seringkali mengabaikan wudhu kita …Seringkali kita berwudhu
dengan sekedarnya hingga tak lagi dapat dibedakan antara berwudhu
dengan membasuh muka biasa. Seolah berat dan menyulitkan ketentuan
wudhu itu kita rasakan. Padahal Allah tidak bermaksud mempersulit kita
dengan ketentuanNya dalam berwudhu ini, justru Dia hendak membersihkan
kita dengan keampunanNya sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah :
“Shalat
yang difardhukan Allah ada lima. Barang siapa yang berwudhu dengan
baik, menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan menyempurnakan ruku’,
sujud, dan kekhusyukannya maka Allah memberikan jaminan untuk
mengampuni dosa orang itu. Barangsiapa yang tidak melakukannya maka
Allah tidak menjaminnya. Jika menghendaki maka Dia mengampuninya dan
jika menghendaki maka Dia menyiksanya”
Ketika Allah telah
mengampuni dosa-dosa kita dengan wudhu maka menjadi sucilah kita. Dan
barulah kita layak menghadap Allah. Makin mantap dan terarah-lah kita
menuju shalat. Begitulah Allah mengarahkan kita pada kekhusyukan
shalat, yaitu dengan mensucikan dan menghadapkan kembali setiap anggota
tubuh untuk ingat dan tunduk pada Allah. Maka khusyuk di dalam wudhu
adalah jalan menuju kekhusyukan di dalam shalat. Inilah jalan kemudahan
yang dibentangkan Allah … Ini pula yang disebut dalam ayat di atas
bahwa Allah hendak menyempurnakan nikmat-Nya, yaitu dengan mengantarkan
kita kepada shalat yang khusyu’.
Demikianlah kesucian
(dengan wudhu dan shalat) menjadi syarat untuk dapat berhubungan dengan
Dzat Yang Maha Tinggi. Kesucian pula yang menjadi dasar / sebab untuk
dapat menerima nikmat yang sempurna, dimana Allah akan menuntun,
menambah, dan melengkapi petunjukNya secara bertahap dan terus menerus.
Jika
sebelumnya Allah telah memberikan kepada kita nikmat petunjukNya …
maka sekarang (melalui perintah berwudhu) Allah semakin menyempurnakan
nikmatNya, yaitu menambahkan petunjuk dan melengkapi petunjuk yang
sudah ada serta lebih memantapan diri dalam ber-al-Quran … menjadikan
al-Quran sebagai petunjuk di dalam hidup sebagaimana dijelaskan dalam
surat al-Waqiah ayat 77-79 : “sesungguhnya itu benar-benar al-Quran
yang mulia. Dalam kitab yang terpelihara. Tidak akan menyentuhnya
kecuali orang-orang yang disucikan”.
Pengertian
“menyentuh” dalam ayat di atas bukan bermakna memegang secara fisik
sebagaimana mungkin kita fahami selama ini yang melarang kita memegang /
membawa mushaf al-Quran tanpa berwudhu terlebih dahulu. Kata
“menyentuh” dalam ayat tersebut adalah kehalusan bahasa al-Quran
sebagaimana saat al-Quran menyebut kata “menyentuh” perempuan. Ia tidak
bermakna memegang atau bersinggungan kulit semata, akan tetapi
berbicara tentang makna yang lebih mendasar yaitu “bergaul
sebagai suami istri”.
Begitupun dengan kata “memegang” dalam ayat ini.
Pengertian
“Al-Quran” yang disebut dalam ayat di atas pun demikian. Al-Quran yang
dimaksud bukanlah al-Quran secara fisik sebagai mushaf (lembaran
kitab) sebagaimana al-Quran yang ada pada kita sekarang ini, karena
al-Quran yang tertulis secara lengkap sebagai mushaf belum dikenal di
masa Rasulullah. Dengan demikian al-Quran yang dimaksud bukanlah
al-Quran secara fisik, tetapi al-Quran secara “ruh” sebagai petunjuk
dan pegangan dalam hidup.
Demikianlah ayat di atas sedang
menjelaskan kepada kita tentang sesuatu yang jauh lebih mendasar dari
sekedar memegang al-Qur’an secara harfiah akan tetapi bermakna lebih
tinggi yaitu mengambil, menggenggam, dan menjadikan al-Quran sebagai
petunjuk di dalam hidup.
Akan tetapi tidak akan seorang
pun mantap memegang al-Quran sebagai pedoman hidupnya, kecuali
orang-orang yang dipilih Allah, yaitu orang-orang yang disucikanNya. Dan
orang-orang yang disucikan Allah itu tiada lain adalah orang-orang
yang shalat (berwudhu lalu shalat) sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Maidah ayat 6 di atas. Dan begitu pula yang dijelaskan dalam surat al
A’la ayat 14-15 : “telah menang orang yang mensucikan dan mengingat
nama Rabbnya lalu ia shalat” Inilah korelasi yang tak terpisahkan antara
wudhu, shalat, dan kemenangan. Tak ada kemenangan tanpa shalat, dan
tak pernah ada shalat tanpa wudhu.
Ketika seorang mukmin
telah mantap mengambil al-Quran, lalu menjadikannya sebagai
satu-satunya petunjuk dalam hidupnya, maka tiap langkahnya adalah
langkah yang senantiasa terbimbing oleh petunjuk. Itulah hidup yang di
atas petunjuk … hidup yang di atas kemenangan sebagaimana janji Allah
dalam seruan adzan “hayya ‘ala shalah … hayya ‘alal falah”. Saat itulah
seorang mukmin sampai pada tingkat syukur, yaitu mampu menjalankan
setiap ketentuan Allah sebagaimana kita fahami kata syukur adalah
lawan kata dari kata kufur (ingkar).
Dan ketika semua
ketentuan Allah tegak dalam diri dan kehidupannya, maka saat itulah
disebut kemenangan! Demikianlah Allah menyempurnakan dien setiap mukmin
… membimbingnya terus-menerus, setahap demi setahap hingga dien itu
tegak di dalam diri. Sebagaimana Allah menyempurnakan dien pada diri
Rasulullah melalui bimbinganNya sejak wahyu pertama (al-Alaq 1-5).
Ketika
turun wahyu pertama dan Rasulullah berhasil melaksanakannya, itulah
kemenangan! Ketika turun wahyu kedua (surat Muzzammil) lalu Rasulullah
berhasil melaksanakannya, itulah kemenangan! Ketika turun wahyu ketiga
(surat mudatstsir) dan Rasulullah pun berhasil melaksanakannya, itulah
kemenangan! Dan demikianlah tahap “Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu…”
Ingatan
inilah yang mesti dibawa ketika seseorang bergerak bangkit menuju
tempat shalatnya, bahwa ia akan bertemu (menghadap) kepada Rabb yang
selama ini telah melimpahkan nikmat kepada dirinya. Akan tetapi tidak
semua orang dapat mengingat karunia Allah itu … hanyalah orang-orang
beriman yang hatinya mampu merasa bahwa ia telah benar-benar menerima
petunjuk dari Allah dan mampu merasakan bahwa petunjuk tersebut adalah
nikmat baginya dan iman (kemampuan menjalankan petunjuk) itu pun nikmat
baginya.
Itulah perasaan seorang yang iman dalam
menghayati setiap datangnya ketentuan Allah. Maka motivasinya dalam
berbuat adalah karena dorongan perasaan seseorang yang telah merasa
menerima nikmat lalu tergerak mewujudkan nikmat tersebut. Mereka itulah
orang-orang yang akhirnya dapat menghayati dan merasakan bahwa wudhu
yang mereka laksanakan bukanlah beban yang menyulitkan akan tetapi
sebuah nikmat dari Allah … dan shalat yang mereka tegakkan bukanlah
kewajiban yang memberatkan, akan tetapi itu adalah juga nikmat dari
Allah. Kepada merekalah ayat ini menyeru, bahwa hanyalah mereka yang
akan disempurnakan nikmatnya oleh Allah setahap demi setahap mulai dari
adzan, wudhu, shalat khusyu’ hingga pada tingkat syukur dan menang.
“…dan
perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu
mengatakan: "Kami dengar dan kami taat”. Dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu)"
Nikmat lain
yang mesti diingat dan disadari oleh seorang hamba yang hendak
menghadap Rabbnya adalah perjanjian yang telah Allah ikatkan kepada
dirinya. Dapat kita bayangkan bahwa Allah, Rabb yang menggenggam
seluruh hamparan langit dan bumi telah mengikatkan diriNya yang begitu
Agung dengan kita, satu makhluk yang amat kecil dari bagian jagad raya
yang digenggamanNya tersebut. Alangkah Maha Besarnya Allah dan alangkah
kecilnya kita. Inilah nikmat Allah lainnya yang juga mesti diingat dan
disyukuri, dimana seorang hamba yang rendah telah diangkat /
ditinggikan derajatnya oleh Allah. Bagaimana tidak … seorang makhluk
sekecil ini menjalin perjanjian dengan Yang Maha Besar … hamba serendah
dan sehina ini menjalin perjanjian dengan Yang Maha Tinggi lagi Maha
Mulia. Bukankah ini berarti Allah telah mengangkat kita dari kehinaan
seorang makhluk?
Perjanjian yang mesti diingat itu adalah
perjanjian iman untuk “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat).
Inilah makna iman yang sebenarnya, makna iman yang telah ditetapkan
oleh Allah.
Makna iman bukanlah sekedar mempercayai
adanya Allah, Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab, qodho’ qodhar dan
hari akhir, akan tetapi iman yang dijelaskan dalam ayat di atas
menyentuh pengertian iman yang lebih mendasar. Hakekat iman
sesungguhnya menuntut sebuah konsekuensi dan pembuktian yang nyata,
yaitu janji “sami’na wa atho’na”, yaitu janji untuk “mendengar” yang
berarti menghadapkan diri sepenuhnya kepada apa-apa yang akan didengar
oleh telinga dan hatinya, yaitu apa-apa yang diturunkan Allah
(al-Quran) beserta penjelasan, penjabaran, serta contoh yang
disampaikan RasulNya, untuk selanjutnya ditaati / dilaksanakannya (wa
atho’na).
Hanya dua sumber itulah yang akan menjadi
rujukan kepatuhan seorang mukmin di dalam berbuat. Dua sumber itu
pulalah yang akan menjadi “pembatas” diri seorang mukmin, dimana ia
hanya akan berbuat sesuatu karena ia “mendengar” bahwa hal itu
sungguh-sungguh diperintah oleh Rabbnya untuk dilaksanakannya ...maka ia
patuh! Demikian pula ia akan menjaga / menahan dirinya untuk tidak
berbuat sesuatu karena ia “mendengar” bahwa hal itu telah nyata
dilarang oleh Rabbnya... maka ia pun patuh!
Demikianlah
takwa itu muncul dalam setiap perbuatan orang-orang beriman, dimulai
dari inspirasi, motivasi, selanjutnya tujuan dalam perbuatannya adalah
hanya demi mengharap penilaian dari Rabb, karena ia tahu bahwa Rabbnya
adalah penggenggam hatinya … Yang tahu segala motivasi dan tujuan
dirinya di dalam berbuat.
Namun jika suatu ketika …
setelah pernyataan janji untuk sami’na wa atho’na takwa itu tidak lagi
muncul (ada kecenderungan dalam hati kita untuk ingkar), maka Allah
memperingatkan “bertakwalah kepada Allah” yang bermakna kembalilah
lurus menepati janji sami’na wa’atho’na atau takutlah kepada Allah
karena Allah adalah Rabb yang mengetahui segala isi dan gerak di hati.
Dan hanyalah orang-orang yang kokoh dengan shalatnya yang mampu tetap
tegak menjaga perjanjiannya dengan Allah.
Demikianlah
ketinggian dan kedalaman bahasa al-Quran yang dapat kita rasakan dari
penggalan surat al-Maidah. Mungkin sebelumnya tak terbayang oleh kita
bahwa wudhu yang sering kali kita remehkan ternyata justru menyimpan
kekuatan besar di dalamnya. Percikan air yang mengenai tubuh kita bukan
hanya membasahi dan menghidupkan sel-sel kulit kita yang mati atau
membersihkan kotoran debu yang menempel, namun sejatinya adanya tangan
Yang Maha Pemurah sedang membangunkan kita dan menyentuh kita dengan
sifatNya Yang Maha Pengampun, memberikan kita kekuatan, dan menjanjikan
kita sebuah kemenangan sejati.
Demikianlah wudhu adalah
tahap penting dari sesuatu yang besar … sebuah langkah awal yang harus
ditempuh seorang mukmin yang ingin meniti jalan kemenangannya.
Selasa, 26 Februari 2013
Hakikat kebenaran sesungguhnya
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.(8:17)
Dan tidak ada pertolongan itu kecuali dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (3:126)
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (81:29)
Sesungguhnya sebab-sebab lahiriah itu tidak ada hakikat dan wujudnya. Karena tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya dan tidak ada wujud hakiki kecuali wujud-Nya, sehingga tidak ada hakikat bagi suatu tindakan kecuali Kehendak dan Izin-Nya
Maka, untuk apa hati bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya!. Karena itu, al-Quran menjauhkan orang-orang beriman dari terpengaruh oleh sebab-sebab lahir dan menghubungkan semua urusan secara langsung kepada kehendak Allah.
Dengan menjauhkan semua sebab lahiriah dan mengembalikan segala urusan kepada Allah, maka akan tercurahlah ketentraman di dalam hati. Tahu arah dan tujuan satu-satunya untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginan, dan menjauhkan apa yang di takuti. Juga untuk menenangkan dan memantapkan hati di dalam menghadapi dampak-dampak, pengaruh-pengaruh, dan sebab-sebab lahiriah yang sebenarnya tidak ada hakikat dan wujudnya.
Senin, 25 Februari 2013
Peringatan Bagi Orang Yang Mengikuti Rasulullah Muhammad SAW
Surat Abasa ini adalah bukti bahwa Alquran bukanlah kitab yang dibuat oleh Muhammad SAW , surat inilah yang merubah total alam berfikir beliau yang awalnya masih terbawa logika dalam melaksanakan perintah Allah SWT , masih menilai manusia itu dari strata hidup dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada . dalam surat ini nampak jelas beliau ditegur dengan amat keras oleh Allah SWT , bahwasanya seluruh cara beliau menilai manusia , logika berfikir beliau tentang cara menyebarkan dan memperjuangkan dakwah beliau itu adalah SALAH . Inilah Surat yang memberikan pelajaran serta bukti bahwasanya Muhammad Rasulullah SAW bukanlah manusia yang langsung jadi turun dari langit untuk menyampaikan risalah , beliau itu adalah manusia yang sama dengan kita yang juga menjadi pelaku dari risalah yang turun kepada beliau .
adalah pantas kita harus mendengarkan kajian surat abasa ini , agar jangan sampai kita itu kemudian lalai dan terperangkap selalu dalam budaya dan tata nilai yang dibuat oleh manusia , agar kita tidak pula menjadi orang yang selalu berlogika beranggapan kita lebih hebat dari Allah lalu mencari metode lain dalam berdakwah dengan beranggapan bahwa metode yang dikerjakan itu akan dapat membantu kelancaran dakwah dan kemenangan islam .
rekaman kajian surat abasa
Label:
alquran,
hikmah,
rekaman,
surat makkiyah
Lokasi:
Surabaya, Indonesia
Sabtu, 19 Januari 2013
Mungkinkah sejarah terulang .....
Sering Kali dan berulang-ulang Didalam Alquran Allah menceritakan bagaimana Dia telah membinasakan suatu kaum karena kedurhakaan mereka kepada Nya , kita tahu bahwa mereka itu (kaum yang Allah binasakan) adalah kaum yang tidak lagi mau tunduk dan patuh kepada Allah dan bahkan dengan terang-terangan mereka menunjukkan kedurhakaan mereka , mereka buat kerusakan dimuka bumi ini , mereka sudah tidak yakin dan perduli dengan Allah yang Maha Kuasa .
Namun pernah terpikirkankah diotak kita apa yang menjadi latar belakang kedurhakaan mereka ?, pernahkah kita tahu apa yang menjadi sebab mereka menjadi manusia yang sudah tidak perduli dan yakin lagi kepada Allah ?.
Marilah kita sama-sama simak kajian surat Al Fajr yang menjelaskan bagaimana Allah memberikan kepada kita suatu petunjuk bahwa apa yang menjadi sebab manusia itu menjadi durhaka kepada Allah SWT , agar kita tidak menerima nasib yang sama seperti mereka ...
Langganan:
Postingan (Atom)