Minggu, 10 Maret 2013

" KIAMAT " kapan dan bagaimana

kehancuran dunia beserta seluruh alam semesta atau yang lebih dikenal Kiamat sesungguhnya adalah fenomena yang telah diketahui akan terjadinya baik oleh orang terdahulu maupun sekarang . berita yang amat mengerikan ini begitu mengguncang seluruh manusia hingga manusia itu berusaha untuk mencari tahu kapan waktunya , hingga sains dan teknologi pun di jadikan alat agar tahu kapan terjadinya dan bagaimana caranya agar selamat dari kejadian tersebut .
bayangan manusia akan kiamat hanyalah sebatas kehancuran alam semesta saja , padahal kiamat adalah fase yang harus terjadi agar Allah membalas segala perbuatan manusia .alam semesta , bintang , bulan , matahari , bumi harus Allah hancurkan hanya sekedar untuk membalas perbuatan manusia . begitu besarnya urusan atas manusia hingga harus terjadi kiamat .
untuk lebih jauh dalam memahami kiamat marilah kita simak kajian surat An Naba (78) yang diulas dengan sederhana agar kita mengerti apa sesungguhnya kiamat itu


Rabu, 27 Februari 2013

Meniti Jalan Kemenangan

Shalat adalah perintah utama di dalam Islam. Menegakkannya berarti menegakkan dien ini … meninggalkannya berarti merobohkan dien ini. Shalat adalah tiang penegak segala yang
ma'ruf dan pencegah segala yang keji dan munkar. Shalat adalah sumber kekuatan, pengokoh jiwa, serta senjata yang paling utama setiap mukmin … laksana senjata terpenting yang tidak dapat ditinggalkan dalam kondisi paling genting sekalipun, seperti perang karena ia adalah wasilah (perantara) dan sebab datangnya pertolongan Allah yang berarti pula sebab datangnya kemenangan. Karena tak akan pernah ada kemenangan jika tanpa pertolongan dari Allah. Sementara pertolongan itu hanya diberikan Allah kepada orang-orang yang benar-benar memantapkan shalatnya sehingga mampu bersabar, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah 45 “Mintalah pertolongan itu dengan sabar dan shalat”.

Allah menyuruh kita agar selalu butuh pertolonganNya dalam setiap waktu dan keadaan dengan sabar dan shalat karena seruan itu! ... seruan kepada ayat-ayat Allah... sungguh sesuatu yang sangat berat. Allah Maha Tahu keadaan hambaNya yang lemah dan tidak akan pernah sanggup apabila mengandalkan kekuatannya sendiri untuk memikul beban berat tersebut. Maka hanya dengan pertolonganNya, hamba yang lemah itu sanggup menjalankan setiap ketentuanNya. Sebagaimana telah dijelaskan Allah dalam lanjutan surat al-Baqarah ayat 45 “Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.

Sabar adalah kemampuan untuk tetap terus bergerak melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah dengan mantap dan kokoh. Kemampuan itu hanya dapat diperoleh dan ditumbuhkan melalui shalat. Tidak akan dapat jiwa sabar itu tumbuh kecuali jika shalat dilaksanakan dengan khusyu’, dan seseorang tidak akan mampu melaksanakan shalat dengan khusyu’ kecuali dia mengerti dengan benar tentang apa itu shalat !

Ketika sabar itu benar ada dan terbukti, maka berhaklah dia atas pertolongan Allah. Dan apabila pertolongan Allah telah tiba maka itulah kemenangan sebagaimana hal itu telah ditetapkan Allah dalam surat An-Nasr ayat pertama “apabila datang pertolongan Allah dan (pasti) menang“.

Demikianlah kemenangan itu hanya akan datang ketika Allah berkehendak menurunkan pertolonganNya. Dan pertolongan serta kemenangan itu hanya akan datang menghampiri setiap diri yang khusyu’, yang memperhatikan shalat dengan sebaik-baiknya, sebagaimana Allah telah menjamin kemenangan itu dalam surat al-Mu’minun 1-2 “sungguh telah menang orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang khusyu’ di dalam shalatnya”.

Begitu besar kedudukan dan dampak shalat, oleh karenanya perintah shalat di dalam al-Quran selalu diiringi dengan kata “qum” (atau kata lain yang terambil dari akar kata yang sama) yang bermakna “tegak, bangkit, kokoh”, sebagaimana perintah shalat untuk pertama kali ditetapkan dengan kata qum dalam surat al muzammil ayat 2 “qumillaila illa qoliila” atau dalam surat al mudatstsir ayat 2 “qum fa andzir”.

“Qum” memiliki makna perintah “tegakkanlah!”, sebuah makna yang lebih mendasar dari sekedar “melaksanakan”. Kata “qum” menggambarkan jiwa yang bangun, bangkit, hidup, dan tergerak dengan dasar motivasi demi menjalankan sebuah perintah. Kekhususan perintah dalam kalimat “qum” mengisyaratkan bahwa shalat bukanlah sekedar perintah “remeh” yang hanya menjadi rutinitas ibadah harian seorang muslim, akan tetapi shalat adalah bukti pertama kepatuhan setiap mukmin yang akan menjadi ciri, jati diri sekaligus identitas IMAN dalam dirinya.

Maka shalat sebagai “identitas iman” … shalat sebagai sesuatu yang harus “ditegakkan” … dan shalat sebagai jalan menggapai pertolongan dan kemenangan, tidak sepatutnya hanya dianggap sebatas “ibadah harian” atau “kewajiban” seseorang yang menyatakan dirinya Islam. Akan tetapi haruslah ia dipandang sebagai sesuatu yang sangat besar dan teramat penting dalam hidup seorang muslim, sehingga ia harus dihadapi dengan kesungguhan perhatian, ketelitian, kehati-hatian serta keseriusan. Bahkan bukan hanya sekedar saat pelaksanaannya saja, akan tetapi dibangun setahap demi setahap sejak adzandi kumandangkan hingga shalat selesai di kerjakan. Begitupun hal-hal yang berkaitan dengan shalat seperti bersih tempat dan pakaian hingga kaifiyat shalat, juga mesti di jaga sebagaimana Allah memerintahkan dan Rasulullahg mencontohkan.

Dalam upaya mewujudkan shalat yang tegak , Allah telah mensyariatkan "langkah awal" sekaligus tahap penting yang harus di tempuh seorang mukmin sebelum ia mengerjakan shalatnya...yang tanpa melaksanakannya mustahil kita dapat mengerjakan shalat. satu tahap yang di sebut Allah sebagai upaya pembersihan diri sehingga seorang mukmin menjadi diri yang bersih..bersih fisiknya dan suci jiwanya. Kebersihan (kesucian) itulah syarat mutlak seorang mukmin menemui Allah di dalam shalat. Dan syarat pembersihan diri yang kita kenal dengan istilah wudhu itu di tetapkan Allah dalam surat al Maidah ayat 6:
'Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bangkit menuju shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Ayat ini menyeru secara khusus kepada orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang hatinya sangat sensitif apabila nama Allah disebut ... hati yang senantiasa terikat kepada Allah yang mengakibatkan selalu gemetaran dan tergerak tatkala mendengar seruan-seruanNya.

Ketika dirinya mendengar seseorang yang mengumandangkan “Allahu akbar.....hayya’allas shalaah..!” menyeru dirinya, ingatan seorang mukmin langsung kembali pada Allah sebagai Rabbnya dan Illahnya. Hatinya yang peka langsung terkait (teringat) bahwa Rabb yang berkuasa penuh atas dirinya tengah memanggilnya untuk shalat. Maka ia merasa tak ada lagi hal yang lebih penting untuk dilakukannya selain bersegera bangkit memenuhi panggilan tersebut. Itulah ciri hati seorang mukmin…ia tidak akan diam saja ketika kebesaran dan kekuasaan Rabbnya telah disebut-sebut, maka ia pun langsung bangkit (qum).

Kata “qum” bukan hanya bermakna bangun/bangkit secara fisik. Apakah bangun dari tidur atau bergerak dari diam, akan tetapi hati yang tergerak/termotivasi karena kesadaran menerima sebuah perintah dan bersengaja menjalankannya. Inilah ciri kemurnian iman, dimana hanya Allah saja yang berkuasa di dalam hati itu… hanya Allah saja yang mampu menggerakkan, memerintahkan, dan membuatnya bangkit. Dengan demikian bangkitnya seorang mukmin dari diamnya… baik dari tidurnya, dari istirahatnya, dari kesibukan-kesibukannya maupun dari aktivitas duniawinya yang lain adalah hanya demi menegakkan ketentuan Allah. Maka bangkitnya seorang mukmin setelah mendengar seruan adzan adalah demi mengagungkan Allah sebagaimana seruan adzan yang ditujukan kepada dirinya. Itulah bukti pengakuan atas keagungan Allah sekaligus ketundukan dirinya di bawah keagungan tersebut… semuanya tertuang di dalam shalat. Demikianlah ayat di atas berbicara tentang motivasi seorang mukmin tatkala bangkit untuk shalat.

atkala nampak oleh kita seseorang yang termotivasi kuat untuk bersegera bangkit dari segala kesibukan dan keasyikannya demi memenuhi seruan adzan untuk shalat, pastilah dalam benak kita yang “masih sehat” terbersit sebuah tanya penuh rasa heran “bagaimana bisa ia melakukan semua itu? betapa hebat dan pentingnya kedudukan shalat itu bagi seorang mukmin hingga ia dapat mengalahkan dirinya dengan segala aktivitasnya”. Dan hanyalah orang-orang beriman yang mampu menjawab pertanyaan itu sebagaimana Al-Quran menjelaskan, yaitu karena shalat adalah jalan utama menuju takwa…jalan utama memperoleh pertolongan…jalan utama menggapai kemenangan.

Inilah kesadaran yang mesti dibawa ketika seseorang melangkah menuju shalatnya, yaitu keinginan untuk mendapatkan (mengambil) kekuatan yang mengokohkan, yang mampu membuatnya berdiri tegak sebagai seorang mukmin yang siap mengemban tugas-tugas dalam dien sebagaimana Allah memerintahkannya dalam surat al-A’raf ayat 29 “dan tegakkanlah wajahmu (dirimu) di setiap tempat sujud”. Maka jiwa seorang mukmin harus bangkit dan bergerak dengan penuh kemantapan diri menuju shalat-shalatnya. Dan hendaklah dengan shalat-shalat yang dikerjakannya itu jiwa seorang mukmin menjadi bangkit dan kokoh pula. Karena di tiap-tiap tempat sujud (di tiap-tiap shalat) itulah seorang mukmin mengambil kekuatan untuk mengokohkan jiwanya.

Disinilah pentingnya membangun pengertian dan pemahaman tentang shalat khusyu’ itu baik kedudukan maupun dampak yang ditimbulkannya, karena tanpa kepahaman yang mantap tentang kedudukan shalat, tidaklah akan seseorang bangkit dan bersegera menegakkan shalat.

Namun sebelum seorang mukmin menerima “kekuatan” dari Allah (melalui shalat khusyu’), terlebih dahulu Allah memerintahkan dirinya untuk menunjukkan kepatuhannya pada Allah melalui suatu upaya “patuh” yang pertama-tama harus ia lakukan yaitu “patuh” menuju/mencari tempat yang terdapat air untuk mengerjakan wudhu dengan patuh pula sebagaimana diperintahkan Allah dalam penggalan ayat selanjutnya ...

“…maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”

“…maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”

Perintah berwudhu yang utama disebutkan dalam al-Quran adalah membasuh muka dan tangan sampai dengan siku dan menyapu kepala dan kaki sampai dengan mata kaki. Membasuh dan menyapu yang dimaksud adalah dengan basuhan air, begitu pula dengan perintah mandi junub. Namun pengertian air disini tidaklah sama dengan pengertian air dalam ilmu kesehatan. Air yang dimaksud bukan hanya untuk membersihkan (secara fisik) saja akan tetapi juga bersih (suci) hingga ke dalam jiwa. Hal itu tampak pada perintah bertayammum sebagai pengganti wudhu.

Perintah tayamum adalah pengganti dari wudhu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan seperti kondisi sakit yang tidak boleh terkena air atau ketika kita tidak menemukan air. Jika dalam berwudhu kita diperintahkan menggunakan air, maka ketika kita bertayamum kita diperintahkan menggunakan tanah yang bersih (bukan debu). Jika kita pikirkan, dapatkah tanah membuat kita menjadi bersih /suci ?

Atau dalam ketentuan lain, yaitu jika kita “buang angin” setelah berwudhu, maka kita harus berwudhu kembali dengan membasuh seluruh anggota wudhu dan bukan membersihkan tempat keluar angin tersebut. Tampak jelas bahwa tujuan mendasar dari perintah wudhu bukan hanya untuk membersihkan diri secara fisik, akan tetapi air untuk wudhu maupun tanah untuk tayamum hanyalah syarat kepatuhan/ketundukan seorang mukmin yang disyaratkan oleh Allah.

Maka jika al-Quran mengatakan “cuci tanganmu sampai siku!”, maka benar-benar kita cuci kedua tangan kita sampai dengan siku. Itulah wujud kepatuhan! Begitupun ketika al-Quran memerintahkan “sapulah kepalamu dan dalam sebuah hadist “celakalah tumit-tumit (yang tertinggal sewaktu berwudhu)”. Itulah peringatan keras Rasulullah kepada para sahabatnya agar mereka benar-benar memperhatikan wudhunya. Hal demikian beliau lakukan karena kefahaman beliau yang mantap tentang makna penting dari wudhu sebagaimana Allah menjelaskannya dalam penggal ayat selanjutnya …

“… Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”

Melalui perintah berwudhu (dengan cara mengusap anggota wudhu dengan air) Allah seolah mulai mengarahkan langkah-langkah kita. Kemanakah arah langkah yang mesti kita tuju setelah mendengar adzan, yaitu ke suatu tempat yang terdapat air yang dapat mensucikan diri kita. Disanalah anggota wudhu mulai dikendalikan, diarahkan, dan disucikan hingga layak untuk menghadap Allah dalam shalat.

Tangan yang sebelumnya digunakan untuk kesibukan-kesibukan dunia yang melenakan mulai disucikan agar mantap di dalam bertakbir. Kepala yang sebelumnya dipenuhi oleh pikiran-pikiran dunia yang melalaikan mulai disucikan agar kembali teringat pada Rabb, begitupun kaki yang sebelumnya digunakan untuk berjalan tak tentu arah mulai disucikan dan dikembalikan menuju arah-arah yang ditunjukkan Allah. Artinya, mulai saat itu semua organ tubuh kita diubah fungsinya hanya demi memenuhi seruan Allah.

Begitulah cara Allah mempermudah kita pada kesucian, sebagaimana Rasulullah menjelaskan bahwa dosa-dosa dari anggota wudhu itu berguguran laksana air yang berjatuhan darinya. Tatkala kita membasuh muka, maka hakekatnya kita bukan hanya sedang membersihkan muka akan tetapi Allah juga membersihkan dosa-dosa dari muka kita. Begitu pula saat kita membasuh tangan, kepala maupun kaki kita, sesungguhnya Allah juga sedang “bertindak” mensucikannya dengan mengampuni dosa-dosa yang melekat padanya. Demikianlah Allah berkehendak untuk mensucikan kita dari dosa-dosa.

Jika Allah telah berkehendak untuk mensucikan kita, maka Dia pula yang berkehendak untuk menunjukkan caranya. Dan wudhulah sarana yang dipilih Allah untuk mensucikan kita. Demikianlah Maha Pemurah-nya Allah. Hanya dengan berwudhu telah ada jaminan dosa-dosa diampuni. Namun ironisnya kita seringkali mengabaikan wudhu kita …Seringkali kita berwudhu dengan sekedarnya hingga tak lagi dapat dibedakan antara berwudhu dengan membasuh muka biasa. Seolah berat dan menyulitkan ketentuan wudhu itu kita rasakan. Padahal Allah tidak bermaksud mempersulit kita dengan ketentuanNya dalam berwudhu ini, justru Dia hendak membersihkan kita dengan keampunanNya sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah :

“Shalat yang difardhukan Allah ada lima. Barang siapa yang berwudhu dengan baik, menegakkan shalat tepat pada waktunya, dan menyempurnakan ruku’, sujud, dan kekhusyukannya maka Allah memberikan jaminan untuk mengampuni dosa orang itu. Barangsiapa yang tidak melakukannya maka Allah tidak menjaminnya. Jika menghendaki maka Dia mengampuninya dan jika menghendaki maka Dia menyiksanya”

Ketika Allah telah mengampuni dosa-dosa kita dengan wudhu maka menjadi sucilah kita. Dan barulah kita layak menghadap Allah. Makin mantap dan terarah-lah kita menuju shalat. Begitulah Allah mengarahkan kita pada kekhusyukan shalat, yaitu dengan mensucikan dan menghadapkan kembali setiap anggota tubuh untuk ingat dan tunduk pada Allah. Maka khusyuk di dalam wudhu adalah jalan menuju kekhusyukan di dalam shalat. Inilah jalan kemudahan yang dibentangkan Allah … Ini pula yang disebut dalam ayat di atas bahwa Allah hendak menyempurnakan nikmat-Nya, yaitu dengan mengantarkan kita kepada shalat yang khusyu’.

Demikianlah kesucian (dengan wudhu dan shalat) menjadi syarat untuk dapat berhubungan dengan Dzat Yang Maha Tinggi. Kesucian pula yang menjadi dasar / sebab untuk dapat menerima nikmat yang sempurna, dimana Allah akan menuntun, menambah, dan melengkapi petunjukNya secara bertahap dan terus menerus.

Jika sebelumnya Allah telah memberikan kepada kita nikmat petunjukNya … maka sekarang (melalui perintah berwudhu) Allah semakin menyempurnakan nikmatNya, yaitu menambahkan petunjuk dan melengkapi petunjuk yang sudah ada serta lebih memantapan diri dalam ber-al-Quran … menjadikan al-Quran sebagai petunjuk di dalam hidup sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Waqiah ayat 77-79 : “sesungguhnya itu benar-benar al-Quran yang mulia. Dalam kitab yang terpelihara. Tidak akan menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”.

Pengertian “menyentuh” dalam ayat di atas bukan bermakna memegang secara fisik sebagaimana mungkin kita fahami selama ini yang melarang kita memegang / membawa mushaf al-Quran tanpa berwudhu terlebih dahulu. Kata “menyentuh” dalam ayat tersebut adalah kehalusan bahasa al-Quran sebagaimana saat al-Quran menyebut kata “menyentuh” perempuan. Ia tidak bermakna memegang atau bersinggungan kulit semata, akan tetapi berbicara tentang makna yang lebih mendasar yaitu “bergaul sebagai suami istri”.

Begitupun dengan kata “memegang” dalam ayat ini.

Pengertian “Al-Quran” yang disebut dalam ayat di atas pun demikian. Al-Quran yang dimaksud bukanlah al-Quran secara fisik sebagai mushaf (lembaran kitab) sebagaimana al-Quran yang ada pada kita sekarang ini, karena al-Quran yang tertulis secara lengkap sebagai mushaf belum dikenal di masa Rasulullah. Dengan demikian al-Quran yang dimaksud bukanlah al-Quran secara fisik, tetapi al-Quran secara “ruh” sebagai petunjuk dan pegangan dalam hidup.

Demikianlah ayat di atas sedang menjelaskan kepada kita tentang sesuatu yang jauh lebih mendasar dari sekedar memegang al-Qur’an secara harfiah akan tetapi bermakna lebih tinggi yaitu mengambil, menggenggam, dan menjadikan al-Quran sebagai petunjuk di dalam hidup.

Akan tetapi tidak akan seorang pun mantap memegang al-Quran sebagai pedoman hidupnya, kecuali orang-orang yang dipilih Allah, yaitu orang-orang yang disucikanNya. Dan orang-orang yang disucikan Allah itu tiada lain adalah orang-orang yang shalat (berwudhu lalu shalat) sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 6 di atas. Dan begitu pula yang dijelaskan dalam surat al A’la ayat 14-15 : “telah menang orang yang mensucikan dan mengingat nama Rabbnya lalu ia shalat” Inilah korelasi yang tak terpisahkan antara wudhu, shalat, dan kemenangan. Tak ada kemenangan tanpa shalat, dan tak pernah ada shalat tanpa wudhu.

Ketika seorang mukmin telah mantap mengambil al-Quran, lalu menjadikannya sebagai satu-satunya petunjuk dalam hidupnya, maka tiap langkahnya adalah langkah yang senantiasa terbimbing oleh petunjuk. Itulah hidup yang di atas petunjuk … hidup yang di atas kemenangan sebagaimana janji Allah dalam seruan adzan “hayya ‘ala shalah … hayya ‘alal falah”. Saat itulah seorang mukmin sampai pada tingkat syukur, yaitu mampu menjalankan setiap ketentuan Allah sebagaimana kita fahami kata syukur adalah lawan kata dari kata kufur (ingkar).

Dan ketika semua ketentuan Allah tegak dalam diri dan kehidupannya, maka saat itulah disebut kemenangan! Demikianlah Allah menyempurnakan dien setiap mukmin … membimbingnya terus-menerus, setahap demi setahap hingga dien itu tegak di dalam diri. Sebagaimana Allah menyempurnakan dien pada diri Rasulullah melalui bimbinganNya sejak wahyu pertama (al-Alaq 1-5).

Ketika turun wahyu pertama dan Rasulullah berhasil melaksanakannya, itulah kemenangan! Ketika turun wahyu kedua (surat Muzzammil) lalu Rasulullah berhasil melaksanakannya, itulah kemenangan! Ketika turun wahyu ketiga (surat mudatstsir) dan Rasulullah pun berhasil melaksanakannya, itulah kemenangan! Dan demikianlah tahap “Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu…”

Ingatan inilah yang mesti dibawa ketika seseorang bergerak bangkit menuju tempat shalatnya, bahwa ia akan bertemu (menghadap) kepada Rabb yang selama ini telah melimpahkan nikmat kepada dirinya. Akan tetapi tidak semua orang dapat mengingat karunia Allah itu … hanyalah orang-orang beriman yang hatinya mampu merasa bahwa ia telah benar-benar menerima petunjuk dari Allah dan mampu merasakan bahwa petunjuk tersebut adalah nikmat baginya dan iman (kemampuan menjalankan petunjuk) itu pun nikmat baginya.

Itulah perasaan seorang yang iman dalam menghayati setiap datangnya ketentuan Allah. Maka motivasinya dalam berbuat adalah karena dorongan perasaan seseorang yang telah merasa menerima nikmat lalu tergerak mewujudkan nikmat tersebut. Mereka itulah orang-orang yang akhirnya dapat menghayati dan merasakan bahwa wudhu yang mereka laksanakan bukanlah beban yang menyulitkan akan tetapi sebuah nikmat dari Allah … dan shalat yang mereka tegakkan bukanlah kewajiban yang memberatkan, akan tetapi itu adalah juga nikmat dari Allah. Kepada merekalah ayat ini menyeru, bahwa hanyalah mereka yang akan disempurnakan nikmatnya oleh Allah setahap demi setahap mulai dari adzan, wudhu, shalat khusyu’ hingga pada tingkat syukur dan menang.

“…dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan: "Kami dengar dan kami taat”. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah mengetahui isi hati(mu)"

Nikmat lain yang mesti diingat dan disadari oleh seorang hamba yang hendak menghadap Rabbnya adalah perjanjian yang telah Allah ikatkan kepada dirinya. Dapat kita bayangkan bahwa Allah, Rabb yang menggenggam seluruh hamparan langit dan bumi telah mengikatkan diriNya yang begitu Agung dengan kita, satu makhluk yang amat kecil dari bagian jagad raya yang digenggamanNya tersebut. Alangkah Maha Besarnya Allah dan alangkah kecilnya kita. Inilah nikmat Allah lainnya yang juga mesti diingat dan disyukuri, dimana seorang hamba yang rendah telah diangkat / ditinggikan derajatnya oleh Allah. Bagaimana tidak … seorang makhluk sekecil ini menjalin perjanjian dengan Yang Maha Besar … hamba serendah dan sehina ini menjalin perjanjian dengan Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Bukankah ini berarti Allah telah mengangkat kita dari kehinaan seorang makhluk?

Perjanjian yang mesti diingat itu adalah perjanjian iman untuk “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat). Inilah makna iman yang sebenarnya, makna iman yang telah ditetapkan oleh Allah.

Makna iman bukanlah sekedar mempercayai adanya Allah, Malaikat, Rasul-Rasul, Kitab-kitab, qodho’ qodhar dan hari akhir, akan tetapi iman yang dijelaskan dalam ayat di atas menyentuh pengertian iman yang lebih mendasar. Hakekat iman sesungguhnya menuntut sebuah konsekuensi dan pembuktian yang nyata, yaitu janji “sami’na wa atho’na”, yaitu janji untuk “mendengar” yang berarti menghadapkan diri sepenuhnya kepada apa-apa yang akan didengar oleh telinga dan hatinya, yaitu apa-apa yang diturunkan Allah (al-Quran) beserta penjelasan, penjabaran, serta contoh yang disampaikan RasulNya, untuk selanjutnya ditaati / dilaksanakannya (wa atho’na).

Hanya dua sumber itulah yang akan menjadi rujukan kepatuhan seorang mukmin di dalam berbuat. Dua sumber itu pulalah yang akan menjadi “pembatas” diri seorang mukmin, dimana ia hanya akan berbuat sesuatu karena ia “mendengar” bahwa hal itu sungguh-sungguh diperintah oleh Rabbnya untuk dilaksanakannya ...maka ia patuh! Demikian pula ia akan menjaga / menahan dirinya untuk tidak berbuat sesuatu karena ia “mendengar” bahwa hal itu telah nyata dilarang oleh Rabbnya... maka ia pun patuh!

Demikianlah takwa itu muncul dalam setiap perbuatan orang-orang beriman, dimulai dari inspirasi, motivasi, selanjutnya tujuan dalam perbuatannya adalah hanya demi mengharap penilaian dari Rabb, karena ia tahu bahwa Rabbnya adalah penggenggam hatinya … Yang tahu segala motivasi dan tujuan dirinya di dalam berbuat.

Namun jika suatu ketika … setelah pernyataan janji untuk sami’na wa atho’na takwa itu tidak lagi muncul (ada kecenderungan dalam hati kita untuk ingkar), maka Allah memperingatkan “bertakwalah kepada Allah” yang bermakna kembalilah lurus menepati janji sami’na wa’atho’na atau takutlah kepada Allah karena Allah adalah Rabb yang mengetahui segala isi dan gerak di hati. Dan hanyalah orang-orang yang kokoh dengan shalatnya yang mampu tetap tegak menjaga perjanjiannya dengan Allah.

Demikianlah ketinggian dan kedalaman bahasa al-Quran yang dapat kita rasakan dari penggalan surat al-Maidah. Mungkin sebelumnya tak terbayang oleh kita bahwa wudhu yang sering kali kita remehkan ternyata justru menyimpan kekuatan besar di dalamnya. Percikan air yang mengenai tubuh kita bukan hanya membasahi dan menghidupkan sel-sel kulit kita yang mati atau membersihkan kotoran debu yang menempel, namun sejatinya adanya tangan Yang Maha Pemurah sedang membangunkan kita dan menyentuh kita dengan sifatNya Yang Maha Pengampun, memberikan kita kekuatan, dan menjanjikan kita sebuah kemenangan sejati.

Demikianlah wudhu adalah tahap penting dari sesuatu yang besar … sebuah langkah awal yang harus ditempuh seorang mukmin yang ingin meniti jalan kemenangannya.

Selasa, 26 Februari 2013

Hakikat kebenaran sesungguhnya


Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.(8:17)


Dan tidak ada pertolongan itu kecuali dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (3:126)
Dan kamu tidak dapat menghendaki kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (81:29)

Sesungguhnya sebab-sebab lahiriah itu tidak ada hakikat dan wujudnya. Karena tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya dan tidak ada wujud hakiki kecuali wujud-Nya, sehingga tidak ada hakikat bagi suatu tindakan kecuali Kehendak dan Izin-Nya

Maka, untuk apa hati bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakikatnya!. Karena itu, al-Quran menjauhkan orang-orang beriman dari terpengaruh oleh sebab-sebab lahir dan menghubungkan semua urusan secara langsung kepada kehendak Allah.

Dengan menjauhkan semua sebab lahiriah dan mengembalikan segala urusan kepada Allah, maka akan tercurahlah ketentraman di dalam hati. Tahu arah dan tujuan satu-satunya untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginan, dan menjauhkan apa yang di takuti. Juga untuk menenangkan dan memantapkan hati di dalam menghadapi dampak-dampak, pengaruh-pengaruh, dan sebab-sebab lahiriah yang sebenarnya tidak ada hakikat dan wujudnya.

Senin, 25 Februari 2013

Peringatan Bagi Orang Yang Mengikuti Rasulullah Muhammad SAW

Surat Abasa ini adalah bukti bahwa Alquran bukanlah kitab yang dibuat oleh Muhammad SAW , surat inilah yang merubah total alam berfikir beliau yang awalnya masih terbawa logika dalam melaksanakan perintah Allah SWT , masih menilai manusia itu dari strata hidup dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada . dalam surat ini nampak jelas beliau ditegur dengan amat keras oleh Allah SWT , bahwasanya seluruh cara beliau menilai manusia , logika berfikir beliau tentang cara menyebarkan dan memperjuangkan dakwah beliau itu adalah SALAH . Inilah Surat yang memberikan pelajaran serta bukti bahwasanya Muhammad Rasulullah SAW bukanlah manusia yang langsung jadi turun dari langit untuk menyampaikan risalah , beliau itu adalah manusia yang sama dengan kita yang juga menjadi pelaku dari risalah yang turun kepada beliau . adalah pantas kita harus mendengarkan kajian surat abasa ini , agar jangan sampai kita itu kemudian lalai dan terperangkap selalu dalam budaya dan tata nilai yang dibuat oleh manusia , agar kita tidak pula menjadi orang yang selalu berlogika beranggapan kita lebih hebat dari Allah lalu mencari metode lain dalam berdakwah dengan beranggapan bahwa metode yang dikerjakan itu akan dapat membantu kelancaran dakwah dan kemenangan islam . rekaman kajian surat abasa